25.10.09

Tidak Ada yang Menemani Aku,Anda dan Kita semua di Liang lahat kecuali..........???

Asy-Syaqiq al Balkhy bertanya pada muridnya Hathim al Ashom yang telah belajar padanya selama 30 tahun, “wahai muridku, kamu telah menimba ilmu dariku.Bisakah kamu menyimpulkan ilmu yang telah kamu terima dariku ?”. “Wahai guruku, setelah aku belajar padamu segala ilmu, ada delapan hal yang bisa aku simpulkan dan sangat berkaitan dengan kehidupanku ke depan” Jawab Hathim

Pertama, aku mencintai ibu, bapak, istri dan anak-anakku, demikian juga aku mencintai kerabat-kerabatku dan handai taulan.Cintaku pada mereka sama dengan kecintaanku pada diriku sendiri. Namun mereka semua tidak bisa menemaniku di liang lahat,aku tetap bersendiri dan tidak ada seorangpun yang kucintai dan mencintaiku menemani di liang lahat kecuali amal shaleh yang kumiliki. Hanya amal shalehku yang setia menemani kesenderianku, memberikan penerang dalam kegelapan lahat, mengusir kesepianku dengan dendang surgawi dan kenikmatan bertemu dengan Sang Mohan yang hakiki, yaitu Allah SWT. Amal sholehku telah memberikan kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya dan sangat terasa di liang lahat ini.

Allah berfirman dalam QS.An Nahl 97 ,”Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”.Maka amal sholehlah yang akan memberikan cahaya kehidupan pada manusia di liang lahat. Cahaya puasa sunnah, cahaya qiyamul lail, cahaya dakwah dan sebagainya akan memberikan penerangan yang terang benderang di liang lahat.

Dan aktifitas manusia tidak akan menjadi amal yang sholeh yaitu amal yang bernilai baik disisi Allah kecuali dibangun atas 4 (empat) dasar/pondasi,2 sebagai pondasi utama dan sisanya sebagai penyempurna;

a.Ikhlas

Ikhlasul amal adalah memurnikan setiap amal yang dilakukan pada satu arah yaitu ridlo Allah, maka amal apa saja tidak akan menjadi sholeh disisi Allah jika sudah tidak murni lagi ke arahNya. Dan biasanya yang menyerang keikhlasan seseorang dalam beramal adalah penyakit hubbu dunya, kecintaan yang buta pada dunia. Dan penyakit ini yang menyebabkan munculnya penyakit riya’, maka ketika seseorang hendak sholat seperti khusyu’ supaya dilihat mertua, itulah riya’ yang akan menghancurkan amal sholehnya. Demikian pula bagi seorang da’i yang selalu berharap amplop sebagai motivasi utama, dan berharap popularitas dalam berdakwah maka itulah riya’ yang akan menghancurkan keikhlasan dalam niatnya dan selanjutnya menghacurkan amal sholehnya.

Konon ketika sayidina Ali ra berperang melawan seorang yang menjadi musuh Islam, beliau begitu semangat sampai pada suatu ketika musuhnya terjatuh ke tanah dan pedang Ali ra menempel di lehernya, tiba-tiba musuhnya meludahi wajah Ali ra, mendapat perlakuan seperti itu Ali meninggalkannya. Bengong dan kaget karena kenyataan dirinya tidak dibunuh oleh Ali ra, ia bertanya pada Ali ra,”Kenapa engkau tidak membunuhku padahal kesempatan ada padamu?”,Ali menjawab” Tadi aku berperang karena Allah SWT, tapi ketika engkau meludahiku, aku menghentikan peperangan itu karena aku khawatir antara dendam dan amarah menjadi motivasi utama untuk membunuhmu, yang akan merusak keikhlasanku dalam berperang”.

b.Ittiba’u Syari’at

Yaitu menjadikan setiap amal manusia sekecil apapun-amal tersebut-harus terikat pada ketentuan syari’at. Dan kesholehan amal kita sangat ditentukan oleh syari’at, meskipun ada keikhlasan padanya. Seperti ,menjamasi benda-benda pusaka pada hari-hari tertentu, meskipun dilakukan dengan ikhlas karena Allah tapi karena hal itu tidak disyari’atkan maka amal itu tidak menjadi sholeh disisiNya. Demikian pula berdo’a, meskipun dilakukan dengan ikhlas, sampai menangis dimalam hari namun do’anya berisi keinginan untuk menjadi juara AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan syari’at karena disitu ada pergaulan bebas, buka aurat dan sebagainya. Maka sudah pasti do;anya tertolak dan tidak termasuk amal yang sholeh. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesholehan sebuah amal tidak hanya dilihat dari keikhlasan semata tapi harus dilihat apakah amal tersebut diridloi Allah atau tidak. Dan orang-orang yang bodoh saja (a’jiz) yang selalu berharap ridlo Allah terhadap sesuatu yang tidak syar’i (tamanna ‘alallah al amaniy). Berharap pahala atas korupsinya, berharap ridloNya atas penindasan-penindasan pada orang-orang kecil, berharap ada kebaikan dari penipuan terhadap rakyat. Ini mustahil dan perilaku bodoh !.

c.Istiqomah

Konsisten dan lurus dalam beramal untuk menuju amal yang sholeh. Karena Allah swt melihat amal seseorang tidak pada banyaknya melainkan pada kualitasnya. Dan kualitas amal sholeh sangat ditentukan dari keistiqomahannya. Beramal sholeh tidak hanya pada waktu kampanye saja atau beramal sholeh ketika selagi senang saja. Namun beramal sholeh harus selalu kontinu dan berlanjut, sehingga amal sholeh tersebut berkualitas dihadapan Allah swt. Bacalah Al Qur’an secara rutin, berdzikirlah pada Allah secara rutin meskipun sedikit karena Allah mencintai seseorang yang beramal sholeh secara rutin dan kontinu.

d.Intifa’

Yaitu bermanfaat baik bagi dirinya terlebih lagi untuk orang lain. Amal sholeh yang kita lakukan seyogyanya memiliki atau menghasilkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya,inilah yang disebut keshalehan sosial.Rasulullah saw pernah bersabda,”Man ashbaha la yahtammu bil muslimin fa laisa minhum”, barangsiapa yang bangun pagi dan ia tidak memiliki kepedulian pada problematika umat Islam, maka ia bukan golongan Islam. Jadi barangsipa yang berdzikir terus menerus di masjid namun ia tidak peduli dengan musibah yang menimpa tetangganya hakekatnya ia tidak beramal sholeh. Karena amal sholeh(dzikir) yang ia lakukan tidak mampu menggerakkan hatinya untuk peduli dengan saudaranya yang tertimpa musibah, padahal sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat pada lingkungannya.

Kedua, muslim yang baik adalah yang selalu bisa menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela (An Naziat 40)

Ketiga, banyaknya pengikut, besarnya pangkat dan jabatan yang disandang bukanlah menjadi ukuran kemuliaan seseorang, karena kemuliaan seseorang hanya bisa diukur dari ketakwaannya, Dan ketakwaan seseorang akan selalu terwujud pada amal sholehnya (Al Hujurat 13)

Keempat, bahwa apa yang dimiliki oleh seseorang, baik kekayaan atau keluarga pada saatnya akan musnah, tak akan bisa abadi, kecuali Allah SWT. Maka bersabarlah terhadap segala hal, baik itu kebahagiaan maupun penderitaan, karena pada saatnya itu semua akan berlalu (An Nahl 96). Dan yang bisa menyertai kita untuk berhadapan dengan Mahkamah Allah SWT hanya amal sholeh.

Kelima,terlalu sering kita memusuhi saudara sendiri.Kita saling berperang dan berkelahi dengan sesama saudara hanya karena kekuasaan dan kepentingan sesaat. Padahal musuh kita sudah jelas yaitu syaithan (Fathir 6). Maka kenapa pikiran dan fisik kita tidak difokuskan untuk melawannya?

Ketujuh, Allah telah menyediakan begitu banyak rizki yang halal, tapi kenapa kita bekerja keras untuk hal-hal yang diharamkan (Hud 6).Na’udzubillah!

Kedelapan, Kita selalu tenang jika punya sandaran (beking) pejabat, padahal pejabat tersebut juga masih mencari sandaran ?. Maka jadikan hanya Allah sandaran kita yang abadi dan Dia tidak pernah bosan dengan penyandaran kita (Ath Thalaq 3)

Inilah kesimpulan Hathim selama belajar dengan gurunya, dan intinya bahwa tidak ada yang bisa menemaninya di liang lahat kecuali kesalehan pada amalnya.

Ya Allah, jadikan kami termasuk Al Kayyis

Tidak ada komentar: